Sejarah Kota Pematangsiantar: Dari Kerajaan Tradisional hingga Kota Modern
Awal Mula
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia,
Pematangsiantar menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Siantar, salah
satu dari tujuh kerajaan yang berdiri di Tanah Simalungun. Kerajaan ini
berpusat di Pulau Holing, dengan Tuan Sang Naualuh Damanik sebagai raja
terakhir yang memerintah sejak tahun 1889 hingga 1904. Dinasti Damanik
merupakan garis keturunan yang mendominasi tampuk kekuasaan di wilayah
tersebut.
Masa Kolonial Belanda
Kehadiran Belanda di Sumatera Utara membawa perubahan besar
bagi Simalungun. Pada tahun 1907, kekuasaan raja-raja berakhir setelah Belanda
menancapkan kendali politiknya. Sejak saat itu, posisi kontrolir Hindia Belanda
dipindahkan dari Perdagangan ke Pematangsiantar. Perubahan administrasi ini
membuat Pematangsiantar berkembang pesat dan menjadi magnet bagi pendatang
baru.
Seiring pertumbuhan tersebut, sejumlah perkampungan
bermunculan di sekitar Pulau Holing. Kawasan-kawasan itu kemudian berkembang
menjadi cikal bakal wilayah hukum Kota Pematangsiantar, seperti Kampung Suhi
Haluan, Suhi Kahean, Suhi Bah Bosar, Siantar Bayu, Pantoan, Tomuan, dan
Martoba. Dari sinilah terbentuk pusat-pusat pemukiman yang hingga kini masih
dikenal.
Pematangsiantar sebagai Kota Otonom
Tahun 1910 menjadi tonggak penting ketika dibentuk Badan
Persiapan Kota Pematangsiantar. Selanjutnya, berdasarkan Stadblad No. 285,
Pematangsiantar resmi ditetapkan sebagai “Gemente” atau kota berotonomi pada 1
Juli 1917. Status ini kemudian diperkuat pada Januari 1939 melalui Stadblad No.
717 yang memberikan kewenangan kota memiliki dewan sendiri.
Namun, masa pendudukan Jepang kembali mengubah struktur
pemerintahan dengan menjadikan kota ini sebagai Siantar State. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan 1945, Pematangsiantar memperoleh kembali statusnya
sebagai daerah otonom.
Letak Geografis dan Posisi Strategis
Secara geografis, Pematangsiantar berada di koordinat
2°53'20''–3°01'00'' Lintang Utara dan 99°1'00''–99°6'35'' Bujur Timur, dengan
ketinggian 400–500 meter di atas permukaan laut. Luas wilayahnya mencapai
79,971 km².
Lokasinya yang strategis menjadikan Pematangsiantar sebagai
jalur perlintasan penting menuju Danau Toba. Jarak kota ini hanya sekitar 128
kilometer dari Medan dan 50 kilometer dari Parapat. Hal tersebut menjadikan
Pematangsiantar sebagai pintu gerbang utama menuju kawasan wisata internasional
Danau Toba.
Peran dalam Sejarah Nasional dan Prestasi Kota
Sebagai kota dengan peran historis, Pematangsiantar juga
dikenal sebagai tempat kelahiran Adam Malik, Wakil Presiden RI ketiga, yang
lahir pada 22 Juli 1917. Selain itu, kota ini pernah meraih penghargaan
nasional, di antaranya Piala Adipura pada tahun 1993 karena keberhasilan
menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Kemudian, pada 1996,
Pematangsiantar memperoleh Piala Wahana Tata Nugraha atas keberhasilan dalam
menata sistem lalu lintas.
Keberagaman Etnis dan Budaya
Pematangsiantar kini dikenal sebagai kota multietnis.
Penduduknya terdiri dari berbagai kelompok seperti Batak Simalungun, Batak
Toba, Batak Karo, Mandailing, Melayu, Nias, Jawa, hingga komunitas dari luar
Sumatera. Dari semua etnis tersebut, Simalungun dan Toba memiliki dominasi
terbesar, dengan Simalungun diakui sebagai penduduk asli daerah ini.
Kota ini juga memiliki semboyan yang lahir dari budaya
Simalungun, yaitu “Sapangambei Manoktok Hitei” yang berarti saling
bergotong-royong untuk mencapai tujuan mulia. Semboyan tersebut
mencerminkan semangat kolektivitas dan persatuan masyarakatnya.
Ikon Transportasi Unik
Selain sejarah dan budayanya, Pematangsiantar juga dikenal
karena ikon transportasi tradisionalnya, yakni becak bermotor. Tidak seperti di
kota lain, becak di Pematangsiantar menggunakan sepeda motor tua bermerek
Birmingham Small Arms (BSA) buatan Inggris dengan kapasitas 500 cc. Suara khas
dari mesin lawas ini membuat becak Siantar dikenal hingga ke mancanegara
sebagai salah satu ikon unik kota. (*)
